Y0eWGYxzpXyCEdgWdcCCd1ut8uzRgXO9EmGhgceU

Mengulik Sejarah Kerajaan Istana Baso Pagaruyuang Sumatera Barat

Sumber foto:Wikipedia
 

Istano Basa Pagaruyung yang terletak di Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat, merupakan sebuah istana yang menjadi sisa peninggalan Kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat.

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Padang, Muhammad Nur mengatakan, Pagaruyung kemungkinan berasal dari dua suku kata, yakni "paga" yang berarti pagar, dan "ruyung" yang berarti batang pohon enau yang mengeras karena sudah tua. Kendati demikian, catatan sejarah tak menyajikan fakta dan bukti mengenai periode setelah Adityawarman hingga munculnya Sultan Alif sebagai Raja Pagaruyung I pada abad XVI.

 

Dikutip dari buku karya Gustama, Faisal Ardi yang berjudul “Buku Babon Kerajaan-Kerajaan di Nusantara”, mengungkapkan dalam prasasti Batusangkar disebutkan bahwa Adityawarman pernah menjadi raja di Pagaruyung. Ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa ketika Adityawarman memerintah di sana, ia memindahkan pusat pemerintahan Pagaruyung ke wilayah pedalaman Minangkabau.

Pengaruh Islam di Pagaruyung diperkirakan berkembang sekitar abad ke-16 oleh para musafir dan ahli agama yang singgah ke wilayah Aceh dan Malaka. Orang yang dianggap pertama kali menyebarkan Islam di Pagaruyung adalah Syaikh Bruhanuddin Ulakan, salah satu murid dari ulama Aceh bernama Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala).

Pada abad ke-17, kerajaan Pagaruyung yang sebelumnya bercorak agama Hindu, berubah menjadi bercorak Islam dan menggantinya menjadi kesultanan Pagaruyung. Menurut Tambo adat Minangkabau, raja Pagaruyung yang pertama kali memeluk agama Islam adalah Sultan Alif.

Dengan masuknya agama Islam ke Pagaruyung, maka segala bentuk peraturan yang bertentangan dengan ajaran Islam mulai dihilangkan dan diganti dengan aturan Islam. Walaupun masih ada sebagaian kebiasaan yang tidak dapat dihilangkan, tetapi tidak bertentangan dengan agama Islam.

Kesultanan Pagaruyung mulai mengalami kemunduran setalah terjadi perang saudara antara kaum Padri (Ulama) dengan orang-orang yang masih mengingkan pemerintahan sesaui dengan adat istiadat sebelumnya.

Perang yang melibatkan dua kelompok masyarakat itu terjadi cukup lama, terhitung sejak tahun 1803 sampai 1838. Pemicu utama dari peperangan tersebut adalah adanya penolakan dari sebagain masyarakat terhadap aturan yang dibuat oleh para ulama.

Masih banyak masyarakat yang melakukan kebiasaan lama yang bertentangan dengan agama Islam, seperti perjudian, minuman keras, penggunaan madat, tidak dilaksanakannya kewajiban dalam Islam, dan lain sebagainya.

Kekuasaan raja di Pagaruyung sudah sangat lemah, banyak wilayah kekuasaan Pagaruyung yang jatuh ke tangan Aceh, dan banyak masyarakat yang menolak segala peraturan yang dibuat oleh raja. Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman melakukan penyerangan ke Kerajaan Pagaruyung pada 1815.

Sultan Arifin Muningsyah dan anggota keluarga kerajaan terpaksa menyelamatkan diri dari ibukota kerajaan ke wilayah Lubuk Jambi. Kerajaan pun semakin terdesak oleh serangan yang dilakukan kaum Padri, sehingga mereka meminta bantuan Belanda.

Pada 10 Februari 1821, Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah melakukan perjanjian dengan pemerintah Belanda untuk bekerja sama melawan kaum Padri dan mengambil alih kembali kerajaan Pagaruyung. Namun perjanjian itu dianggap oleh Belanda sebagai tanda penyerahan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda.

Setelah pasukan Belanda berhasil memukul mundur kaum Padri dari wilayah Pagaruyung, pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan wilayah Pagaruyung dan menempatkan raja sebagai bawahannya. Kemudian Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah meminta bantuan kaum Padri untuk menyingkirkan Belanda, tetapi upaya tersebut gagal dan ia dibuang ke wilayah Batavia dengan tuduhan penghianatan terhadap perjanjian yang telah dibuat.

 

Begitulah sekilas kisah tentang Pagaruyuang, hingga bagaimana kerajaan pagaruyuang berakhir. Merujuk kembali kepada istananya yang sekarang jadi salahsatu objek wisata terkenal di sumatera barat.

 

Bangunan asli Istano Basa Pagaruyung yang berdiri saat ini bukanlah bangunan aslinya. Bangunan aslinya berada di Bukit Batu Patah. Bangunan istana yang asli habis terlahap api. Beruntung, beberapa benda peninggalan masih ada yang terselamatkan dan disimpan dengan baik. Bangunan istana yang berdiri di Tanah Datar ini juga tak kalah menarik dan megah seperti bangunan aslinya. Sempat terbakar pada 2007 Istana Basa Pagaruyung ini sempat terbakar pada tahun 2007 dan telah mengalami renovasi oleh pemerintah daerah setempat.

 

Setiap tingkatan bangunan beda fungsinya Istana Pagaruyung memiliki tiga tingkat dalam bangunannya dengan masing-masing fungsi berbeda. Tingkat paling bawah adalah tempat aktivitas utama pemerintahan berupa sebuah ruang besar yang melebar dengan area khusus sebagai singgasana raja di bagian tengahnya. Pada sisi kiri dan kanan ruangan terdapat sebuah ruangan kamar. Sementara itu bagian belakang singgasana terdapat tujuh buah kamar sebagai tempat bagi para putri raja yang telah menikah.

 

Tingkat kedua adalah ruang aktivitas bagi para putri raja yang belum menikah. Ruangan ini sama besarnya dengan ruangan utama. Sementara ruangan yang teratas merupakan tempat raja dan permaisurinya bersantai sembari memandangi kondisi sekitar istana. Ruangan ini dikenal dengan anjung peranginan. Ruang tersebut memiliki sejumlah koleksi senjata pusaka asli kerajaan yang masih tersisa seperti tombak, pedang, dan senapan peninggalan Belanda.

Related Posts

Related Posts

Masukkan kode iklan matched content di sini.

Post a Comment