Oleh
: Silvia Junisa
Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Univeritas Andalas
Seruan.id - Sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bahwa pers memegang peranan penting, yaitu memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Artinya, pers sebagai lembaga independen tentunya harus memberikan informasi yang faktual atau sesuai dengan fakta, dan aktual yang artinya dilakukan secepat mungkin dengan tujuan agar masyarakat dapat dengan cepat memperoleh informasi atau peristiwa yang terjadi, serta harus dapat dipercaya oleh masyarakat, agar masyarakat mendapatkan informasi yang benar dan sesuai dengan peristiwa yang sebenarnya.
Begitu pula masyarakat, haruslah bisa memilah dan
selektif terhadap informasi yang diberikan, agar tidak mudah termakan oleh
berbagai informasi yang belum teruji kebenarannya. Kendati demikian, pers juga
lembaga yang tidak luput dari kesalahan dalam menjalankan profesinya, yang mana
pers harus senantiasa berhadapan dengan deadline dan berpacu dengan waktu untuk
memperoleh informasi secepat mungkin, sehingga terkadang melakukan kesalahan, seperti bisa
saja memberikan informasi tanpa adanya keterangan lebih lanjut dari orang yang diberitakan.
Sehingga ada orang yang merasa dirugikan atau dapat berujung pada pencemaran nama
baik seseorang atau sekelompok orang.
Akan tetapi, dalam hal tindak pidana berupa penghinaan
atau pencemaran baik yang dilakukan oleh pers tersebut, sebenarnya dalam
Undang-undang Pers telah terdapat mekanisme dalam meminta pertanggungjawaban
yaitu berupa penggunaan hak tolak dan hak koreksi yang telah disediakan.
Terdapat Pasal 11, Kode Etik Jurnalistik, yang ditetapkan Peraturan Dewan Pers
Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers
Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers,
yaitu Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Hak jawab merupakan hak seseorang atau sekelompok
orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahannya terhadap pemberitaan yang
berupa fakta yang mana telah merugikan nama baiknya. Sedangkan hak koreksi yaitu
hak setiap orang untuk membetulkan atau memperbaiki kekeliruan informasi yang
diberitakan oleh pers, baik itu tentang dirinya maupun tentang orang lain. Proporsional di
sini artinya adalah setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki tersebut.
Kemudian penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan
Pers, dengan sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh
organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Dengan demikian, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40
tahun 1999 Tentang Pers, bahwa pers wajib melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi
tersebut. pers yang tidak melayani Hak Jawab selain melanggar Kode Etik
Jurnalistik juga dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Karena berita bohong atau berita
yang memiliki kekeliruan di dalamnya harus di klarifikasi dan diperbaiki agar
informasi yang diberikan tidak merugikan suatu pihak dan tetap menjaga
kepercayaan dari publik.
Akan tetapi amat disayangkan, jika pihak yang merasa
dirugikan tersebut langsung melaporkan kepada pihak yang berwajib terkait
kekeliruan tersebut tanpa memberikan hak jawab atau koreksi terlebih dahulu.
Sehingga berujung pada proses pengadilan, salah satunya seperti yang dituliskan
Nurzaman Razaq dalam BeritaNasional.id yaitu Wartawan Muhammad Asrul pada 2021 yang berujung pada penahanan dengan
tuduhan dugaan pencemaran nama baik terhadap Farid Kasim Judas, salah seorang
pejabat di Kota Palopo yang diproses penuntutan pidana di Pengadilan Negeri
Palopo, dengan tuntutan 1 tahun penjara . Hal ini dalam perkaranya terkait
tidak adanya Hak Jawab dan Hak Koreksi dari pihak pelapor.
Itu artinya, hak jawab dan hak koreksi
masih lemah berlaku di Indonesia, dan mungkin pihak pelapor merasa hak jawab
tidaklah memuaskan untuk memperbaiki dan menyelesaikan kesalahan yang terjadi,
padahal hak jawab dan hak koreksi amatlah perlu dilakukan sebelum melaporkan
kepada penegak hukum dan pihak kepolisian pun haruslah tau akan hal itu.
Dengan demikian, tentunya kita sangat berharap dewan pers lebih mempertegas
lagi mengenai aturan hak jawab dan hak koreksi karena kita sebagai masyarakat
sebaiknya juga wajib menjalankan mekanisme
hak jawab dan hak koreksi tersebut guna memperbaiki kekeliruan informasi dalam
pemberitaan pers agar tidak berujung pada bui.
Dengan demikian, sangat perlu kita ketahui dan tekankan bahwa
seperti yang disampaikan oleh Nurzaman Razaq dalam BeritaNasional.id tersebut yaitu “Sekiranya atas
pertimbangan Dewan Pers, bahwa itu bukan karya jurnalistik dan bertentangan
dengan kaidah UU Pers dan KEJ, tentu menjadi kewenangan penuh pihak kepolisian
menindaklanjutinya secara pidana. Dan jika ada pertimbangan Dewan Pers yang
mengatakan itu telah masuk sebagai karya jurnalistik, maka pihak penyidikpun
merujuk pada kaidah UU Pers dan KEJ.”