Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Andalas
Omnibus Law RUU Cipta Kerja resmi disahkan menjadi Undang-undang dalam rapat Paripurna ke-7 DPR-RI pada awal bulan Oktober ini. Menurut para akademisi RUU Cipta Kerja ini dinilai memuat pasal-pasal kontroversial yang lebih memihak kepada investor ketimbang masyarakat khususnya buruh.
Hal ini membuat posisi buruh semakin dipojokkan karena RUU Cipta Kerja ini mengahapus skema pesangon bagi pekerja yang terkena PHK dan juga menghapus skema upah minimum.
Disisi lain, pemerintah mengklaim bahwa pengesahan Omnibus Law ini bertujuan untuk memulihkan perekonomian Indonesia yang terpuruk karena akibat pandemi Covid-19.
Dengan adanya Omnibus Law ini membuat sistem birokrasi dan perizinan menjadi lebih sederhana untuk mempermudah investasi masuk ke Indonesia yang selama ini menjadi hambatan utama para investor masuk ke Indonesia. Pemerintah mengklaim bahwa dengan banyaknya investasi masuk ke Indonesia akan membuat lapangan pekerjaan akan semakin banyak.
Pengesahan Omnibus Law ini mendapat tanggapan negatif dari berbagai golongan masyarakat, terutama dari kalangan buruh. Tak sedikit buruh yang melakukan protes keras terhadap pengesahan Omnibus Law ini.
Aksi protes buruh terhadap Omnibus Law dengan melakukan mogok kerja, tak tanggung-tanggung menurut Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), terdapat sekitar dua juta buruh dari berbagai sektor industri di berbagai daerah yang melakukan mogok kerja massal.
Tidak hanya itu mahasiswa mendesak Pemerintah untuk membatalkan pengesahan Omnibus Law dengan melakukan aksi Protes di depan gedung DPR maupun DPRD di berbagai daerah di Indonesia.
Namun, sangat disayangkan aksi demonstrasi mahasiswa ini banyak berbuntut kericuhan. Terlebih lagi, masih banyak mahasiswa yang tidak paham apa itu Omnibus Law dan tidak tau apa tuntutan mereka terhadap pemerintah dan DPR.
Hal ini terkesan seperti ikut-ikutan dalam melakukan aksi demo tanpa mengerti apa yang didemokan. Selain itu, ada juga oknum-oknum mahasiswa yang melakukan tindakan yang malah merugikan negara seperti merusak fasilitas gedung DPR, membakar stasiun kereta dan menghancurkan fasilitas umum lainnya.
Selain itu, Protes masyarakat terhadap Omnibus Law juga terlihat di media Sosial, banyak netizen yang melakukan aksi kecaman di media Sosial, terutama di Instagram resmi milik DPR-RI. Sumpah serapah dan kata-kata kotor terlihat jelas di kolom komentar postingan Instagram milik DPR-RI semenjak disahkannya Omnibus Law.
Seharusnya masyarakat lebih bijak mengunakan sosial medianya mengingat adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang siap menjerat “para netizen nakal” kapan saja.
Menjadi Sorotan Dunia
Pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini juga menjadi sorotan dunia Internasional. Hal ini terlihat adanya media luar negeri yang menyoroti pengesahan Omnibus Law dan aksi Demonstrasi masyarakat dalam menolak Omnibus Law.
Media asing tersebut diantaranya ialah New York Times dan Bloomberg dari Amerika Serikat, Reuters dan Sky News dari Inggris, Redfish dari Rusia, dan beberapa media internasional lainnya.
Pengesahan Omnius Law ini dinilai akan melanggar Konvensi Internasional Labor Organization (ILO). Dilansir dari laman resmi ILO (ilo.org). Internasional Labor Organization (ILO) merupakan Organisasi Perburuhan Internasional dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tujuan utama dari ILO ini adalah untuk mengkampanyekan hak-hak ditempat kerja, mendorong terciptanya peluang kerja yang layak, meningkatkan perlindungan sosial serta memperkuat dialog untuk mengatasi permasalahan-permasalahan terkait dengan dunia kerja.
Dalam konvensi ILO, penentuan upah minimum harus ditetapkan melalui mekanisme Tripartit dimana pemerintah daerah, pengusaha, dan serikat buruh harus dilibatkan dalam penentuan upah minimum buruh. Namun didalam Omnibus Law, Upah Minimum hanya ditetapkan oleh Pemerintah daerah saja dan tidak lagi melibatkkan Serikat Buruh.
Hal ini terlihat jelas bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Konvensi ILO nomor 131 tentang penetapan upah minimum. Padahal, Indonesia merupakan negara pertama di Asia dan negara kelima didunia yang menjadi negara anggota ILO sejak 1950 dan Indonesia juga telah meratifikasi seluruh pokok-pokok konvensi ILO.
Perspektif Hubungan Internasional
Omnibus Law juga dinilai sebagai proses liberalisasi ekonomi Indonesia yang dapat menyengsarakan buruh melalui upah yang murah dan penghilangan pesangon bagi buruh yang terkena PHK.
Dalam perspektif Ilmu Hubungan Internasional sendiri, sistem ekonomi liberal sering disebut istilah kapitalis dimana sistem ekonomi kapitalis ini berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dengan modal seefisien mungkin. Dengan adanya Omnibus Law, pengusaha akan mendapat keuntungan dari penekanan modal usaha seperti upah buruh yang murah. Dengan demikian, yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan terus menjadi miskin.
Pro dan kontra mengenai omnibus law ini menjadi tema perdebatan yang hangat dan alot. Disatu sisi pemerintah berusaha memulihkan perekonomian Indonesia yang terkena dampak dari pandemi Covid-19. Disisi lain pengesahan Omnibus Law ini akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat, terutama para Buruh.
Dengan kata lain, Omnibus Law ini bak pedang bermata dua, dapat berdampak baik sekaligus berdampak buruk bagi Indonesia tergantung dari perspektif mana yang kita pakai untuk melihat Omnibus Law ini.