Y0eWGYxzpXyCEdgWdcCCd1ut8uzRgXO9EmGhgceU

HAM Sang Penyintas Kekerasan Seksual Ter-Amputasi

Oleh: Chantika Aulia
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Andalas

Negara indonesia merupakan negara yang mengakui dan menjunjung tinggi HAM. Hal ini juga diatur dalam dasar hukumnya bahwa indonesia mengakui HAM bagi warga negaranya yakni dalam UUD 1945 pasal 27-34 (sebelum amandemen) dan pasal 28 A-J (setelah amandemen),UU No. 39 Tahun 2009 dan UU lainnya yang mengatur tentang HAM. 

Hak Asasi Manusia adalah hak yang bersifat uniersal, dimiliki,dilindungi serta dihormati oleh setiap orang yang tidak bisa digugat oleh pihak lain. Sebagaimana HAM diatur dalam UU No. 39 Tahun 2009 yang memberi definisi bahwa HAM adalah “hak yang melekat pada manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan anugerahnya wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,hukum,pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Selain itu HAM juga banyak didukung oleh para tokoh yang memberikan pengaruh dalam pemikirannya yakni salah satu tokoh sarjana indonesia Miriam budiardjo menyatakan bahwa HAM itu melekat secara lahir dan dibawa serta dimiliki oleh manusia didalam kehidupan masyarakat.

Namun dari pernyataan tersebut, walaupun bangsa indonesia telah menyimbolkan diri sebagai negara HAM,ternyata bangsa kita masih abai akan perihal HAM bagi warga negaranya. Salah satunya atas kasus pelecehan kekerasan seksual yang merupakan konfik yang panas diperbahaskan sehingga menimbulkan pertanyaan retorik “Sudah baikkah perlindungan HAM yang ada di Indonesia saat sekarang ini?”

Kekerasan Seksual merupakan konflik kekerasan berupa tindakan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan dengan menimbulkan efek bagi para penyintas, baik itu dari segi fisik maupun segi psikolgis seperti traumatis yang dialaminya sehingga perlu waktu yang tidaklah pendek dalam proses pendamaian batin dari sisi piskologis para penyintas tersebut. Sang penyintas berhak dan perlu dilindungi agar kejadian hal tersebut tidak terjadi lagi bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain yang berdampak merugikan.

Melihat perkembangan kasus kekerasan seksual indonesia,berdasarkan catatan tahunan dari Komnas HAM Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat, terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang tahun 2019. Jumlah tersebut naik sebesar 6 persen dari tahun sebelumnya, yakni 406.178 kasus. Ditambah lagi para korban kekerasan seksual yang masih takut untuk melakukan pelaporan atas kasusnya kepada pihak aparat karna diberi ancaman oleh pelaku sehingga mereka harus berdiam diri atas kasus yang menimpa dirinya.

Dilihat dari data tersebut dapat diartikan bahwa semakin hari semakin kian menjadi-jadi kasus kekerasan seksual yang ada dindonesia, sehingga menimbulkan ancaman bagi keamanan terhadap warga negaranya disebabkan minimnya perlindungan hukum yang tidak juga memberi efek jera dalam kasus kekerasan seksual yang kian hari kian meningkat.

Selain itu didalam pengadilan, para korban kekerasan juga mendapatkan rasa kekecewaan terhadap keputusan hakim yang dijatuhkan terhadap pelaku kekerasan seksual dengan pidana yang masih dianggap ringan dan juga tidak memberi efek jera bagi para pelaku. Salah satu kasusnya seperti pada kasus Gilang Jarik seorang mahasiswa unair, membungkus para korbannya dengan kain jarik untuk memuaskan nafsu seksualnya dengan alasan semata-mata untuk melakukan penelitian yang telah dilakukannya sejak 2015 dengan jumlah 25 korban.

Maka Setelah itu, ternyata ada salah satu korban yang berani melaporkan ke aparat penegak hukum karena sadar bahwa perlakuan yang dilakukan oleh pelaku terhadap dirinya merupakan tindakan pelecehan seksual. 
Namun setelah melakukan proses persidangan si pelaku hanya dikenakan pasal UU ITE pasal 22 ayat 4 dan pasal 29, serta pasal 35 KUHP 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan. 

Padahal korban menekankan perbuatan yang dilakukan adalah kasus pelecehan seksual. Pengenaan pasal terhadap Gilang juga mengundang kontroersi karena para pennyidik kepolisian yang masih berpikir-pikir apakah perbuatannya ini dapat dipakai pasal asusila dalam KUHP dan apabila dikaji sejauh ini belum dapat dijatuhkan kepada tersangka.

Maka dari itu bukan hanya kasus itu saja yang membuat urgensi payung hukum dipertanyakan dalam kasus kekerasan seksual ini, yang dimana masih adanya kekosongan hukum dalam berbagai macam kasus kekerasan seksual yang terjadi sehingga memberi kekecewaan kepada penyintas kekerasan seksual karena adanya alasan masih belum ditemukannya regulasi yang mengatur tentang kasus kekerasasan tersebut.

Ditambah lagi banyaknya para pelaku kejahatan yang berlalu-lalang karena masih lemahnya pengaturan kekerasan seksual yang tidak juga memberi efek jera bagi para pelaku kekerasan.

Maka dari itu, dibutuhkanlah dasar hukum dalam penyelamatan para korban kekerasan seksual yakni diciptakanlah Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang diyakini dapat menjadi solusi untuk upaya perlindungan bagi korban kekerasan seksual dan juga bagi pihak lain. 

Namun dalam pengesehannya pun belum juga diberikan oleh pihak parlemen terhadap RUU-PKS tersebut sehingga membuat polemik bagi rakyat indonesia untuk menuntut agar RUU tersebut segera disahkan dengan dsasar pemenuhan HAM bagi mereka untuk mendapat keselamatan dan keamanan dari penjahat kekerasan seksual. Pendukung bukan dari masyarakat biasa saja, penuntutan RUU tersebut banyak didukung oleh para akademis,mahasiswa serta masyarakat untuk dapat mendesak dalam pengesahan RUU-PKS.
Related Posts

Related Posts

Masukkan kode iklan matched content di sini.

Post a Comment