Y0eWGYxzpXyCEdgWdcCCd1ut8uzRgXO9EmGhgceU

Mata yang Disiram, Hukum yang Buta

Oleh: Yusri Alwi Jambak
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Kampus 2 Universitas Andalas

Beberapa hari terakhir ini kita di hebohkan dengan kelanjutan dari kasus penyiraman air keras kepada penyidik senior  KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Novel Baswedan. Kasus ini dianggap janggal dan tidak masuk akal oleh sebagian besar masyarakat yang melihat dan mendegarkan kasus ini.

Setelah lebih dari tiga tahun, pelaku kasus penyiraman air keras kepada Novel baswedan akhirnya di tangkap dan kemudian di adili di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Mereka dituntut dengan hukuman satu tahun penjara. Jelas bahwa tuntutan ini dianggap janggal  sehingga menuai berbagai kritik pedas dari berbagai pihak. Pasalnya pelaku  di jerat dengan beberapa pasal sekaligus yaitu,

Pasal 353 ayat 1 dan 2 KUHP:
1. Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 351 ayat 1 dan 2 KUHP:
1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,
2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Meski di KUHP penganiayaan berat bisa diancam maksimal 12 tahun, jaksa menuntut terdakwa hanya satu tahun penjara. Hal ini lalu menuai kritik dari banyak pihak. Apa mungkin karena pelaku tersebut melakukannya tanpa sengaja? atau karena pelaku sudah meminta maaf? sehingga membuat hukuman dapat diringankan? Jika hanya dengan alasan seperti itu, seharusnya banyak pelaku kriminal lain yang mendapat keringanan hukuman yang sama.

Seharusnya tuntutan yang di jatuhkan oleh jaksa penuntut umum dapat berpikir logika dalam menentukan tuntutan tersebut. Disini saya melihat ada pihak yang berkepentingan di dalam kasus ini sehingga para pelaku di coba untuk diringankan atau bahkan untuk menghilangkan hukumannya. Mungkin para pelaku korupsi yang tidak ingin diungkap kasusnya. Itu hanya opini saya saja. Ini masih ada waktu untuk pihak yang terkait untuk memutuskan apa yang akan di terima oleh para pelaku tersebut. Saya harap hakim yang memutuskan kasus ini dapat bersikap tegas, adil, bijaksana dengan hukum yang berlaku tanpa mengindahkan intervensi dari pihak tertentu. 

Jika kita melihat kembali dari kasus yang sama sebanyak tiga tuntutan jaksa di tiga kasus penyiraman air keras kemudian dibandingkan dengan tuntutan jaksa terhadap pelaku kasus Novel Baswedan justru berbanding terbalik.

Kasus pertama adalah penyiraman air keras yang dilakukan Ruslam terhadap istri serta mertuanya pada 18 Juni 2018. Jaksa kemudian menuntut Ruslam sebagai terdakwa dengan pidana penjara delapan tahun. Majelis Hakim PN Pekalongan akhirnya menjatuhkan vonis yang lebih berat kepada Ruslam, yakni 10 tahun penjara.

Kasus kedua adalah penyiraman air keras yang dilakukan Rika Sonata terhadap suaminya pada Oktober 2018. Rika yang diketahui menyewa preman untuk menyiram suaminya dengan air keras kemudian dituntut jaksa dengan pidana penjara selama 10 tahun. Majelis Hakim PN Bengkulu lalu menjatuhkan vonis yang lebih berat, yaitu 12 tahun penjara untuk Rika.

Terakhir ialah penyiraman air keras yang dilakukan Heriyanto kepada istrinya hingga meninggal dunia pada 12 Juli 2019. Jaksa kemudian menuntut Heriyanto dengan pidana penjara selama 20 tahun. Tuntutan jaksa itu kemudian dikabulkan Majelis Hakim PN Bengkulu.

Dari kasus di atas seharusnya pihak penuntut umum tahu apa yang harus di lakukan bukan melakukan tindakan yang tidak masuk akal seperti ini. Saya rasa pihak penuntut umum sudah tahu tentang kasus yang telah terjadi di waktu di masa lalu. Disini dapat kita lihat bahwa ketidakseriusan dari pihak yang terkait dalam kasus ini. Apa hukum di indonesia dapat di lakukan sesuka hati saja sesuai kepentingan berbagai pihal tertentu? 

Jika kita melihat penanganan pelanggaran hukum yang ada di Indonesia seperti cerita lucu nan jenaka karena dapat dilihat bahwa penegakan hukum yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di sebut negara hukum tidak pernah memihak pada rakyat biasa dan selalu meringankan pihak pihak yang berkepentingan. Contoh yang paling nyata adalah ketika ketua BEM Universitas Cendrawasih Papua Ferry Kombo justru di tuntut 10 tahun penjara karena menolak adanya rasisme yang terjadi Surabaya. Dan para pelaku penyiraman air keras hingga membuat bagian tubuh manusia mengalami cacat  hanya di tuntut 1 tahun penjara. 

Disini saya melihat bahwa hukum yang terjdi di indonesia sedang mengalami masa yang cukup memprihatinkan. Dimana orang membela yang benar justru di hukum dan pihak yang melakukan tindakan yang tidak benar di bela. Jangan buat lebih banyak masyarakat yang berpendapat bahwa hukum di negeri ini dapat dibeli oleh uang dan memihak pada orang orang tertentu dan justru tidak berpihak pada masyarakat miskin. Dapat dikatakan kondisi hukum di indonesia sedang mengalami kebutaan terhadap kasus-kasus yang ada saat ini. Bila di ibaratkan dalam pepatah kuno, hukum di indonesia seperti  melihat semut di seberang lautan tetapi seekor gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.
Related Posts

Related Posts

Masukkan kode iklan matched content di sini.

Post a Comment