Y0eWGYxzpXyCEdgWdcCCd1ut8uzRgXO9EmGhgceU

Politik Indonesia Dalam Bayang - Bayang Covid-19

Oleh: Nur Arifah Sari Harahap, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas 

Penyebaran pandemi corona virus ( Covid 19) di Indonesia yang semakin ganas memberikan kecemasan kolektif apabila ia menjangkit terlalu lama di Indonesia. Covid 19 secara perlahan akan menggiring Indonesia pada potensi krisis di sejumlah lini strategis sehingga tidak menutup kemungkinan akan membawa Indonesia pada krisis ekonomi yang berbuntut pada krisis politik.

Salah seorang pengamat berkata: “ Bayang- Bayang kematian yang ditimbulkan oleh Covid- 19 kepada seseorang sebenarnya tidak semengerikan dampak jangka panjang yang akan ia timbulkan pada satu negara.”

Corona Memicu Instabilitas politik. Mungkinkah?

Dalam Coronavirus: The Health, Economic and Geopotical Consequences (2020), John Scott menyampaikan bahwa rakyat akan membenci pemerintah akan membenci pemerintah yang gagal melindungi warga negaranya. Bahkan tidak menutup kermungkinan bahwa rakyat tidak akan kembali memilih politisi yang gagal dalam melaksanakan tanggung jawabnya pada pemilu mendatang. Selain itu, bahwa sejak wabah Covid- 19 merebak telah terjadi krisis kepercayaan ( Problem Of Trust) warga negara terhadap kekuasaan.

Jika berkaca pada fenomena global, Covid- 19 tidak bisa hanya dimaknai sebagai wabah penyakit global. Dalam konteks politik, Covid- 19 adalah bencana politik yang tercipta secara alamiah atau by nature  untuk menguji tingkat kepercayaan publik terhadap pemangku kekuasaan. Keterbukan dan sikap responsif pemerintah akan membantu politik untuk berhenti berspekulasi di tengah keadaan yang dinamis tersebut. Efektivitas pemerintah dalam merespom ancaman pandemi ini akan menunjukkan sejauh mana simpati publik pada kekuasaan terus terpelihara. Hal tersebut dengan meningkatkan kinerja pemerintah pusat maupun daerah, dalam penularan dan pencegahan penyakit agar tidak meluas, dalam konteks geografis maupun dampak multidimensi (ekonomi, politik, sosial) .

Bukan hal yang muskhil ketika keresahan politik yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia, kekuasaan akan semakin diguncang secara alamiah. Legitimasinya mulai dipertanyakan. Apalagi beberapa isu politik nasional dalam beberapa hari terakhir semakin mempertajam indikasi ke arah tersebut. 

Pertama wacana reshuffle kabinet. Isu ini cukup santer diberitakan pada akhir Februari lalu. Sejumlah pengamat menilai bahwa kemunculan wacana ini sebelum genap satu tahun masa pemerintahan Jokowi mengindikasikan ada yang tidak beres dengan “ dapur” istana. Hal ini juga diperkuat dengan sikap “gerah” presiden terhadap menteri kesehatan dalam merespon Covid- 19 sehingga harus menunjuk Ahmad Yurianto, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementrian Kesehatan, sebagai jubir resmi pemerintah untuk penanganan kasus Corona.

Aroma tidak keharmonisan justru semakin kentara ditengah situasi genting. Publik akhirnya semakin liar berspekulasi seraya mempertanyakan sejauh mana keseriusan pemerintah dalam menangani Covid- 19

Kedua, gerakan masyarakat sipil semakin solid dan berkesinambungan. Tertutupnya sistem politik (pengaruh oligarki) disertai dengan tekanan kondisi sosial ekonomi di masyarakat mendorong tuntutan yang lebih kuat dari masyarakat untuk bergantinya kekuasaan. Gerakan massa tersebut biasanya bersifat informal, menggunakan perangkat komunikasi yang baru, dan memiliki watak ofensif kepada aparatur negara. Riak- riak protes masyarakat terhadap kekuasaan sebenarnya telah tumbuh secara sporadis dibeberapa daerah. Gerakan mahasiswa #ReformasiDikorupsi pada 2019 lalu tidak bisa dimaknai sebagai klimaks semata. Justru, ia adalah sumbu awal yang menyemai benih- benih protes selanjutnya.

Masyarakat semakin cerdas politik sehingga mereka lebih kritis pada isu yang menyangkut hajat hidup mereka. Hal tersebut terbukti dari banyaknya demonstrasi akhir- akhir ini yang diinisiasi oleh aliansi masyarakat sipil untuk menolak RUU Omnibus Law. Meskipun terjadi secara sporadis di sejumlah daerah, aksi- aksi dengan mengusung narasi yang sama ini menandakan bahwa terjadi kemerosotan public trust terhadap kekuasaan.

Fenomena protes menolak RUU Omnibus Law mencerminkan sinisme publik dalam melihat kinerja pemerintah yang mulai mengkhawatirkan bahkan sebelum genap satu tahun berkuasa. Hal ini perlu mendapat perhatian dan ditanggapi lebih cermat agar public trust terhadap pemerintah tetap terpelihara hingga akhir periode kekuasaan.

Arnold Toynbee, seorang sejarawan terkemuka memandang bahwa sejarah bergerak seperti siklus. Ia akan terulang melalui pola- pola yang sama kendati dalam rentang waktu dan pelaku yang berbeda. Ia menambahkan, kemajuan dan kemunduran sebuah masyarakat dalam sebuah peradaban ditentukan dari cara mereka merespon tantangan.

Kita selalu berharap bahwa kesiapan maupun sikap kita dalam menghadapi pandemi Covid- 19 tidak diperkeruh oleh isu politik. Pemerintah pusat tidak perlu menaruh kecurigaan politis dengan pemerintah daerah yang mengambil tindakan inisiatif lebih awal. Pemerintah daerah juga perlu mengedepankan koordinasi yang baik di awal dengan pemerintah pusat sebelum mengambil kebijakan strategis di wilayah, agar bisa saling sinergis dan tidak saling curiga

Keselamatan dan perlindungan terhadap warga negara perlu diutamakan. Kepercayaan publik pada kekuasaan akan terpelihara dengan sendirinya seiring dengan kehadiran negara ditengah mereka. Segala kebijakan yang berorientasi pada kemanusiaan pada akhirnya akan menciptakan keselamatan bagi sebuah negara. Dalam situasi ini, respon yang tepat dari pemerintah akan menghasilkan kemaslahatan masyarakat, bangsa, dan negara.

Related Posts
egip satria eka putra
Suka mengoleksi buku dan menulis. Mengoleksinya saja, sedang membacanya tidak.

Related Posts

Masukkan kode iklan matched content di sini.

Post a Comment