Y0eWGYxzpXyCEdgWdcCCd1ut8uzRgXO9EmGhgceU

Covid-19 dan Imaji Menghadapi Hoax

Oleh: Herma Desvira
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas)

Semakin meluasnya penyebaran wabah Corona Virus Disease (COVID-19) di Indonesia membuat masyarakat kalang kabut. Jumlah pasien positif COVID-19 yang terus meningkat menjadikan internet dan jejaring sosial menjadi sasaran utama bagi masyarakat dalam menggali informasi terkait pandemi COVID-19. Mirisnya, di tengah kepanikan global COVID-19 ini, masih kerap ditemukan tangan-tangan jahil yang terus menyebar berita bohong atau akrab dengan istilah hoax. Secara holistik, Allcott and Gentzkow (2017:213) pernah menasbihkan bahwa hoax atau berita palsu diartikan sebagai berita yang dapat diverifikasi salah dan menyesatkan bagi pembaca. 

Sehingga tidak heran ketika berita hoax itu muncul, maka secara tidak langsung dapat menakut-nakuti orang yang menerima, karena adanya diksi yang menyesatkan sekaligus mengkhawatirkan. Hal ini tentu semakin menuai kecemasan dan was-was di tengah-tengah masyarakat. Itu sebabnya, diakhir April kemarin Kementerian Komunikasi dan Informasi secara gamblang merilis bahwa telah ditemukan 554 berita hoax seputar COVID-19 yang tersebar di 1.209 platform digital seperti Facebook, Instagram, twitter, whatsapp, dan YouTube. Tentu kejadian ini sangat memilukan sekali di tengah masyarakat dan semua unsur melawan pandemi COVID-19.

Penyebaran Hoax dan Efek Jera
Fakta akan berita Hoax tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, misalnya kejadian yang terjadi belakangan ini di Kabupaten Ponorogo, dimana pihak Kepolisian mengamankan pelaku penyebar hoax yang memberitahukan informasi bohong tentang pasien virus corona yang meninggal dalam grup facebook. Namun lucunya, informasi tersebut berbanding terbalik dari yang diberitakan, Pihak Polres justru mendapatkan konfirmasi dari Dinas Kesehatan bahwa kondisi pasien positif Corona tersebut kian membaik. Atas hal ini, pelaku diamankan dan wajib mengikuti penyelidikan lebih lanjut. Hoax terkait COVID-19 tak berhenti sampai disitu saja. Beberapa pekan lalu (20/04) hal yang sama juga terjadi di Kota Bogor, di mana ratusan warga Bogor berdesakan menyerbu BAZNAS karena termakan hoax tentang pembagian sembako. Warga mengatakan bahwa informasi tersebut berasal dari pesan berantai dari WhatsApp Group, namun Ketua BAZNAS Kabupaten Bogor menegaskan bahwa pada hari tersebut tidak ada pembagian sembako untuk siapapun. 

Dari kejadian tersebut, hingga akhir April kemarin sudah terdapat 99 kasus hoax terkait COVID-19 yang ditangani Kepolisian yang tersebar hampir di seluruh jagat Indonesia. Tentu saja motif yang dilakoni oleh pelaku bervariasi dan beragam. Motif yang dilakukan terkadang mulai karena hanya iseng dan bercanda belaka hingga penjelmaan bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah, sehingga Hoax menjadi instrumen bagi mereka untuk memanipulasi berita yang dikonsumsi oleh khalayak masyakat. 

Padahal, jika dilihat dari optik yuridis pelanggaran hoax telah dinukilkan di dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal tersebut menjelaskan bahwa, “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”, akan dijatuhi pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1 miliar sebagaimana diatur lebih lanjut pada Pasal 45A ayat (1) UU ITE. 

Artinya, pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya atau difitnah seputar COVID-19 dapat mengadukan dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum. Sanksi penyebaran hoax juga diatur dalam pasal-pasal lain UU ITE. Itu sebabnya, penangkapan 89 tersangka penyebar hoax terkait COVID-19 oleh Kemenkominfo yang dibantu pihak kepolisian, membuktikan bahwa pemerintah melalui instrumen hukumnya sangat serius menegakkan hukum sebagai efek jera bagi penyebar hoax yang telah menimbulkan keresahan bagi masyarakat.

Urgensi Imaji Kritis Masyarakat
Dewasa ini, merupakan suatu hal wajar ketika seseorang mengikuti perkembangan informasi. Namun yang terjadi sangatlah miris. Ketika pada masa pandemi, media yang digunakan untuk mencari informasi tentang perkembangan COVID-19 hingga bantuan yang akan diberikan oleh pemerintah, ternyata tidak valid bahkan menyesatkan. Masyarakat yang seharusnya dapat bernafas lega meski tetap harus waspada, dipanikkan dengan berita-berita yang mengundang kekhawatiran dan mengguncang psikis. Begitupun sebaliknya, saat masyarakat diminta mengindahkan imbauan pemerintah untuk tetap melakukan physical distancing, hoax yang tersebar begitu saja justru menyulut kegemparan yang berimbas pada berkumpulnya orang banyak. Tentu ini merupakan pemicu semakin cepatnya resiko penyebaran COVID-19.

Dari kejadian tersebut peran masyarakat untuk menangkal hoax ditengah pandemi sangatlah urgent. Dalam batas penalaran yang wajar, upaya utama yang harus dilakukan adalah menerapkan budaya membaca yang baik dan benar. Lazimnya, Hoax menggunakan judul yang mengundang sensasi dan bersifat menghasut. Tak jarang kreator hoax mengambil foto dan berita dari media atau surat kabar resmi dan mengubah substansinya dengan bumbu menyesatkan yang sesuai dengan persepsi pembuat hoax. Maka dari itu, masyarakat dituntut untuk lebih teliti dan membaca keseluruhan isi berita dan menilik adakah kejanggalan substansi berita guna mencegah diri terpedaya oleh judul-judul yang terkadang menyuntik unsur provokasi. 

Kedua, bersikap kritis terhadap berita yang beredar adalah hal wajib bagi masyarakat untuk mencaritahu validitas substansi serta sumber dari sebuah berita. Artinya, sebelum menyebarkan suatu berita, masyarakat perlu mengembangkan rasa penasaran akan keabsahan berita tersebut. Jika suatu informasi berasal dari sumber yang samar, masyarakat diharapkan jangan langsung percaya. Ketimbang menelan utuh informasi dari website tak resmi, alangkah baiknya jika masyarakat berselancar di internet dan membaca di media resmi yang tak diragukan lagi kredibilitasnya. Ketiga, menahan diri untuk menyebarluaskan konten yang belum jelas kebenarannya. Sebab, UU ITE akan menjadi bumerang dan dapat menjerat siapa saja yang ikut menyebarluaskan konten hoax yang berujung pada sanksi pidana. Dan apabila menemukan berita hoax, sudi kiranya masyarakat melaporkan pada pihak berwenang sebelum hoax semakin merebak dan menyesatkan.

Terakhir, ditengah pandemi COVID-19 masyarakat perlu bijak dalam memanfaatkan internet. Karena media sosial saat ini justru menjadi lahan subur tumbuhnya hoax, menggunakan internet secukupnya merupakan langkah bernas untuk mencegah peluang terjadinya hoax. Itu sebabnya, imaji masyarakat yang baik menghadapi hoax, sudah sepantasnya ditumbuhkan sedari dini di tengah pandemi COVID-19 ini. Justru itulah merupakan cara terbaik dan utama dalam menekan penyebaran hoax tersebut. Sinergitas antara pemerintah, lembaga yang berwenang, dan masyarakat juga sangat diperlukan sebagai pilar penerang dan penyejuk dalam menghadapi isu penyebaran hoax di tengah pandemi COVID-19. Semoga.
Related Posts

Related Posts

Masukkan kode iklan matched content di sini.

Post a Comment