Oleh: M. Fedro Syafiola
Mahasiswa Sosiologi Universitas Andalas
Wabah covid-19 yang sangat mematikan ini telah membunuh ratusan ribu penghuni bumi dan meluluhlantakkan perekonomian seluruh negara di dunia. Namun, di luar yang memilukan itu, Coronavirus Diseases 2019 sudah ‘’memaksa’’ manusia untuk bertranformasi dari peradaban lama ke peradaban baru.
Peradaban dunia diprediksi akan jatuh dengan pola dan durasi waktunya sudah ditentukan oleh siklus peradaban. Teori siklus yang berkembang di abad 19-20 menyimpulkan siklus perubahan global terjadi setiap hitungan 100 sampai 120 tahunan.
Dalam buku Profesor Jared Diamond yang berjudul Guns, Germs and Steel (bedil, kuman, dan baja), ia menyebutkan virus dan kuman merupakan penanda peradaban manusia.
Menurut Jared Diamond, ada tiga yang menjadi penanda eksistensi peradaban manusia, yakni bedil, kuman dan baja. Ia mendasarkan argumentasinya pada fakta sosial masa lalu bahwa setiap kali peperangan dan penaklukan bangsa-bangsa terjadi sering kali hadir secara bersamaan penyakit (virus) yang menyerang umat manusia. Dalam situasi ini, terjadi perubahan lanskap sosial termasuk jatuhnya rezim.
Meskipun demikian, masyarakat pada dasarnya memang akan selalu mengalami perubahan. Masyarakat tidak bisa dibayangkan sebagai keadaan yang tetap, melainkan sebagai proses yang senantiasa berubah dengan derajat kecepatan, intensitas, irama dan tempo yang berbeda (Sztompka, 08:2017).
Aspek sosial, budaya, ekonomi dan pendidikan dan budaya pada masyarakat. Dampak sosial dari Covid-19 itu sendiri dapat terlihat dari adanya pembatasan kebebasan sipil masyarakat, bedanya dengan sosial dampak terhadap budaya gotong royong dan interaksi yang melemah antar individu harus menggantungkan interaksinya melalui media sosial, sedangkan dampak ekonomi terlihat pada penurunan perkembangan ekonomi serta banyaknya individu yang terkena PHK dan untuk masyarakat yang penghasilanya tidak menentu (harian). Para pedagang mengalami pendapatan yang menurun drastis. Selain itu, di bidang pendidikan anak-anak tidak sekolah tatap muka, melainkan sekolah melalui online (daring/virtual) sehingga tidak adanya interaksi antara murid dengan guru.
Peradaban juga dirasakan oleh dunia olahraga misalnya seperti sepak bola, biasanya banyak terdengar gemuruh-gemuruh penonton/ supporter yang menonton di stadion. Semenjak adanya virus ini supporter digantikan dengan boneka, poster pajangan penonton dan menonton secara virtual. Menggelar pertandingan tanpa penonton merupakan keputusan sulit yang harus diambil demi menyelamatkan klub-klub dari ancaman kebangkrutan. Meski kehilangan pendapatan dari tiket pertandingan, mereka setidaknya mendapat keuntungan dari hak siar televisi. Sayangnya hal ini membuat atmosfer pertandingan menjadi terasa hambar. Pemain seperti kurang greget ketika beraksi di lapangan.
Harus diakui bahwa dampak Pandemi Covid-19 telah memaksa komunitas masyarakat harus adaptif terhadap berbagai bentuk perubahan sosial yang diakibatkannya. Beragam persoalan yang ada telah menghadirkan desakan transformasi sosial di masyarakat. Bahkan, bukan tidak mungkin peradaban dan tatanan kemanusiaan akan mengalami pergeseran ke arah dan bentuk yang jauh berbeda dari kondisi sebelumnya. Lebih lanjut, wajah dunia pasca pandemi bisa saja tidak akan pernah kembali pada situasi seperti awalnya.
Kondisi pandemi di dunia ternyata tidak hanya terjadi saat ini saja. Dalam catatan sejarah peradaban manusia, dunia setidaknya mengalami 3 kali masa pandemi yang l merenggut banyak korban jiwa, yaitu pandemic Justinian Plague pada 541-542 M (30-50 juta jiwa), Black Death pada 1347-1351 (200 juta jiwa), dan Flu Spanyol pada 1918-1919 (40 juta jiwa). Upaya penanganan bergerak dari cara tradisional ke modern, ataupun gabungan keduanya. Namun, di antara keberagaman tersebut, upaya menjadi penanganan yang umum dilakukan.
Ciri otentik dari masyarakat adalah kedinamisan dalam perubahan di tatanan sosialnya saat mendapat stimulus tertentu, dalam hal ini rasa takut atas wabah virus corona. Kondisi perubahan ini bersifat interpenden. Artinya, sulit untuk dapat membatasi perubahan-perubahan pada masyarakat karena masyarakat merupakan rantai yang saling terkait. Oleh karena itulah, diorganisasi dan disfungsi sosial menjadi suatu keniscayaan. Disorganisasi pada masyarakat akan mengarah pada situasi sosial yang tidak menentu. Sehingga dapat berdampak pada tatanan sosial di masyarakat. Wujud nyatanya berupa prasangka dan diskriminasi.
Pandemi Covid-19 berisiko melahirkan kondisi force majeure, atau keadaan memaksa yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya dan tidak dapat dihindari. Force majeure di masa covid-19 terlihat di sektor public, pandemi berpotensi meningkatkan utang negara. Sementara di sektor privat, ada banyak usaha yang terdampak akibat Covid-19.
Dampak nyata ancaman pandemi bagi stabilitas negara adalah munculnya ketidak percayaan public terhadap negara. Kondisi ini dapat mengikis keseluruhan legitimasi pemerintahan. Selain itu, pandemic juga berdampak buruk pada fondasi ekonomi. Ekonomi akan sangat dipengaruhi oleh hilangnya tenaga kerja produktif serta pengurangan investasi modal eksternal yang berpotensi mengurangi produk domestic bruto.
Upaya Pemerintah harus mengalihkan dana pembangunan ibu kota baru yang berada di provinsi Kalimanntan Timur untuk penanganan Covid-19 yang semakin hari semakin parah.
Karl Marx dalam karya monumentalnya Economic and Philosophic Manuscripts pernah berucap bahwa alam adalah tubuh organic manusia. Bagi Marx, manusia hidup di alam berarti alam adalah tubuhnya, yang harus ditinggalinya dalam suatu hubungan yang terus menerus jika dia tidak ingin mati. Kondisi kehidupan fisik dan spiritual manusia terkait erat dengan alam yang berarti bahwa alam terkait dengan dirinya sendiri, karena merupakan bagian dari alam.
Kita, sebagai manusia sangat merasakan tranformasi peradaban itu. Kita dipaksa oleh Covid-19 untuk hidup dengan lebih disiplin. Selalu mencuci tangan dengan sabun setelah menyentuh manusia lain dan berbagai benda.
Disiplin menjaga jarak dalam berinteraksi, menggunakan masker, menggunakan hand sanitizer, dan tidak boleh berkerumunan. Virus ini menyadarkan pada penyelenggara negara untuk meningkatkan kapasitas medis. Dalam kondisi normal pun kapasitas medis kita tidak cukup untuk melayani pasien, apalagi di saat negara kita diserang pandemi Covid-19.
Dengan demikian, ada kalanya setiap pembicaraan kita tentang ‘’krisis pandemi’’ harusnya dimulai dari suatu perspektif yang lebih luas dari itu, yaitu dengan perspektif yang memperhitungkan akar masalah dengan masalah-masalah kritis yang kita tengah hadapi saat ini. Sebab, sekali kenyataan-kenyataan itu dipahami, maka akan menjadi jelas bahwa sumbernya adalah dari ulah manusia itu sendiri.