Y0eWGYxzpXyCEdgWdcCCd1ut8uzRgXO9EmGhgceU

Apakah Pandemi Covid-19 Termasuk Kategori Overmacht?

Oleh: Nelti Rosa
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas

Hingga saat ini pandemi Covid-19 telah ditetapkan sebagai bencana nasional. Hal ini mengacu pada keputusan presiden (keppres) Republik Indonesia nomor 12 tahun 2020 tentang penetapan bencana non-alam penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Akibatnya tidak sedikit orang yang gagal memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.

Keadaan inilah yang disebut Overmacht atau Force majeure. Dalam konteks perjanjian, pihak-pihak yang menyepakati suatu perjanjian wajib menjalankan seluruh ketentuan yang tertuang dalam perjanjian tersebut. Para pihak harus menunaikan kewajibannya serta mendapatkan hak-haknya yang diatur dalam perjanjian tersebut. Lantas, pada kondisi terkini apakah wabah COVID-19 dapat di kualifikasikan sebagai keadaan memaksa (overmacht) ?

Didalam suatu perjanjian , Overmacht atau force majeure merupakan hal umum yang dituangkan ke dalam perjanjian. Force majeure secara etimologis berasal dari bahasa Prancis yang berarti “kekuatan yang lebih besar”. Dalam konteks hukum perdata force majeure adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak dapat menjalankan kewajibannya bukan karena ia lalai atau sengaja, melainkan karena ada hal-hal yang diluar kuasanya dan mempengaruhi dirinya untuk tidak menjalankan kewajibannya (overmacht). Force majeure/overmacht diatur dalam pasal 1244 dan 1245 kitab undang-undang hukum perdata (KUHPerdata),yang berbunyi:

Pasal 1244 KUHPerdata 
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya”

Pasal 1245 KUHPerdata 
“Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya".

Pada intinya kedua pasal ini menunjukkan bahwa dalam suatu keadaan memaksa pihak yang lalai dalam menjalankan kewajibannya dapat dilepaskan dari tanggung jawab untuk mengganti kerugian yang timbul akibat tidak dilaksanakannya suatu perjanjian.

Persoalan yang timbul sehubungan dengan uraian di atas adalah, apabila para pihak tidak menuangkan COVID-19 sebagai force majeure di dalam perjanjian apakah fenomena tersebut tetap dapat dikualifikasikan sebagai force majeure?

Mengacu pada pasal 1 ayat (3) undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana dinyatakan bahwa :

“Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh pristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,epidemic, dan wabah penyakit”.

Dapat kita lihat bahwa dalam UU penanggulangan bencana, epidemic dan wabah dapat dikualifikasikan sebagai bencana non alam. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa Covid-19 termasuk bencana non alam karena epidemic termasuk bencana non alam apalagi sudah masuk kategori pandemic. 

Sehingga pada intinya yang perlu dipahami bahwa tidaklah mudah untuk membuktikan wabah COVID-19 yang terjadi membebaskan salah satu pihak dari kewajiban mengganti rugi atau membenarkan pihak lainnya untuk tidak menjalankan kewajibannya.

Kesimpulannya, COVID-19 yang telah ditetapkan pemerintah dapat dikualifikasikan sebagai force majeure meskipun tidak diatur dalam perjanjian. Namun hal tersebut tidaklah cukup untuk menjadi dasar bahwa salah satu pihak dalam perjanjian menjadi menunda kewajibannya karena perlu dibuktikan adanya hubungan secara langsung antara wabah COVID-19 yang berakibat pada ketidakmampuan untuk menjalankan kewajiban dalam suatu perjanjian.
Related Posts

Related Posts

Masukkan kode iklan matched content di sini.

Post a Comment